“Dari Relawan Logistik ke Garda Evakuasi Jenazah Tsunami Aceh”

banner 468x60

“Karena Kemanusiaan Tak Butuh Gelar atau Pujian”

Hari Pertama Keberangkatan ke Aceh

SelidikPost.com,. – Hari pertama keberangkatan ke Aceh, kami sudah harus standby di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pukul 06.00 WIB, pada 29 Desember 2004. Dari sana, kami dijadwalkan terbang menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, dengan estimasi mendarat pukul 16.00 WIB, setelah transit di Skadron 12 Pekanbaru untuk mengisi bahan bakar dan menunggu jadwal penerbangan lanjutan.

Sambil menunggu jemputan di Aceh, kami berbaur dengan para penyintas tsunami, mendengarkan kisah mereka yang penuh duka. Namun suasana seketika berubah ketika terdengar suara gemuruh yang sangat dahsyat. Seng dan material beterbangan tanpa arah. Kami sontak terdiam, takut kalau itu adalah gempa susulan atau tsunami kedua.

Ternyata, suara itu berasal dari pesawat Amerika berukuran raksasa yang hendak mendarat. Kabarnya, landasan di bandara tersebut sebenarnya tidak layak untuk pesawat sebesar itu. Kami semua lega sekaligus takjub melihat pesawat raksasa itu turun dengan selamat.

Menjelang malam, mobil TNI AL yang menjemput kami akhirnya tiba. Kami naik ke mobil itu, merasakan hembusan angin malam yang bercampur bau amis menyengat. Karena kondisi gelap, kami tidak terlalu memperhatikannya. Namun sesampainya di basecamp, barulah kami terkejut—di dalam mobil itu ternyata terdapat tiga jenazah yang belum sempat dikuburkan. Mobil tersebut langsung dipakai menjemput kami tanpa sempat diturunkan lebih dulu.

Malam pertama di basecamp menjadi ujian sesungguhnya. Air tidak ada, makanan terbatas, tempat tidur pun tidak tersedia. Hujan deras membuat kami kesulitan mendirikan tenda. Firman hanya berkata lirih, “Ini ujian pertama.”

Keesokan paginya, mobil Marinir menjemput kami untuk pindah ke posko utama. Begitu tiba, kami langsung membersihkan area dan malam harinya mengikuti briefing. Di situlah kami mendapat kabar yang mengubah seluruh perjalanan kami.

Awalnya kami ditempatkan sebagai relawan logistik. Namun Marinir meminta bantuan karena kekurangan tenaga untuk evakuasi mayat. Setelah berdiskusi singkat, kami menyetujui permintaan itu. Kami datang ke Aceh untuk menolong, apa pun bentuknya.

Sekitar 60 relawan dibagi menjadi empat tim, masing-masing didampingi BKO Marinir. Hari itu menjadi titik paling berat bagi sebagian besar dari kami. Banyak yang menangis, banyak yang muntah, dan hampir semua tidak siap secara mental. Kami bekerja dengan peralatan seadanya, tanpa perlengkapan layaknya tim evakuasi profesional.

Evakuasi Mayat dengan Plastik Cor

Hari-hari berikutnya, tugas berat itu resmi dimulai. Peralatan kami sangat minim. Satu-satunya “kantong jenazah” yang kami punya adalah plastik cor, digunakan seperti kain kafan—biasanya tiga  lembar untuk satu jenazah pria dan lima untuk wanita

Setiap langkah terasa sangat berat. Bau menyengat, kondisi medan yang hancur, serta pemandangan yang tidak sanggup diceritakan ulang membuat kami hampir pingsan berkali-kali. Di balik masker seadanya, tidak jarang kami menangis sambil saling menguatkan.

Tim dibagi sesuai wilayah kerja, masing-masing dengan pendamping Marinir yang lebih berpengalaman. Evakuasi bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi keteguhan mental. Sebagian besar korban sudah dalam kondisi tidak bisa dikenali lagi. Hati kami remuk, namun kami harus tetap melangkah demi menghormati mereka yang ditemukan.

Setiap jenazah dibungkus dengan plastik cor layaknya kain kafan, lalu dibawa ke titik pengumpulan kuburan massal untuk kemudian dimakamkan atau diidentifikasi lebih lanjut. Hujan, panas, dan situasi yang serba tidak pasti membuat waktu terasa lebih lambat dari biasanya.

Feby Arisma  suatu kali berucap, “Ini bukan sekadar kerja. Ini pengabdian. Kita bukan hanya relawan, tapi saksi dari bencana yang tidak akan pernah terlupakan.”
Kalimat itu menjadi penyemangat kami setiap hari.

Bersambung…
Hari-Hari Terberat dan Kenangan yang Tak Terhapus (2)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment