Hari-Hari Terberat dan Kenangan Tak Terhapus

banner 468x60

“Karena Kemanusiaan Tak Butuh Gelar atau Pujian”

SelidikPost.com., – Setiap pagi di Aceh adalah ujian berat bagi kami. Dari basecamp, tim Marinir menjemput kami melewati jalanan yang hancur lebur, dipenuhi lumpur, reruntuhan bangunan, dan bau menyengat yang menusuk hidung. Pohon tumbang, mobil terbalik, dan mayat-mayat berserakan di mana-mana, menjadi pengingat pahit akan dahsyatnya tsunami. Setiap langkah harus hati-hati, karena reruntuhan bisa melukai atau menimpa siapa saja yang lengah.

Evakuasi mayat bukan pekerjaan ringan. Mengangkat tubuh-tubuh yang telah kehilangan kehidupan, menempatkannya dengan hormat, sambil menahan rasa takut, jijik, dan duka, menjadi rutinitas fisik dan mental yang sangat melelahkan. Hati kami kerap tercabik melihat penderitaan masyarakat yang selamat—banyak dari mereka kehilangan seluruh keluarga dalam sekejap—namun tetap menyambut kami dengan senyum lelah yang menyayat hati. Cerita mereka tentang malam tsunami membuat kami tersentuh dan mendorong semangat untuk terus melangkah, meski rasa takut dan lelah selalu menghantui.

Hari-hari itu membawa pengalaman baru setiap detiknya. Ada saat ketika tangan kami gemetar saat mengangkat tubuh, kaki kami hampir tersandung reruntuhan, namun kami tetap maju. Malam hari menjadi waktu refleksi. Di tenda atau basecamp, kami duduk bersama, menceritakan pengalaman hari itu, berbagi rasa takut, kesedihan, hingga tawa kecil sebagai pelipur lara. Hari-hari berat itu membentuk ikatan yang lebih dari sekadar tim; kami menjadi keluarga dalam situasi ekstrem, saling menopang di tengah duka dan kengerian.

Ziarah ke Makam Sultan Iskandar Muda

Ketegangan selalu menyertai setiap langkah kami. Di beberapa titik, dentuman senjata dari kontak tembak antara pasukan TNI dan kelompok GAM terdengar begitu dekat, membuat jantung berdetak lebih cepat. Gempa susulan juga sering mengguncang bumi, memaksa kami berlari keluar dari basecamp yang rapuh demi menyelamatkan diri. Setiap langkah terasa penuh risiko, namun kami tahu bahwa misi kami adalah panggilan kemanusiaan yang tak bisa ditunda.

Di tengah ketegangan itu, terselip momen spiritual yang menenangkan jiwa. Suatu hari, saya bersama beberapa relawan mengunjungi makam Sultan Iskandar Muda, yang berdampingan dengan Masjid Raya Baiturrahman. Pemandangan di hadapan kami sungguh menakjubkan: di tengah dahsyatnya tsunami, makam tetap utuh, tak tersentuh air laut. Rumput di sekitarnya tetap hijau dan segar, seakan menyimpan perlindungan ilahi bagi yang datang berziarah.

Subhanallah… di tengah kehancuran, ada ketenangan yang memeluk hati. Saat menundukkan kepala di makam, saya memanjatkan doa, memohon kekuatan dan kesabaran untuk menunaikan tugas berat ini. Hati haru sekaligus tekad membara, karena menjadi relawan bukan sekadar bekerja—ini adalah panggilan kemanusiaan, untuk menghormati korban dan membantu masyarakat bangkit dari tragedi.

Awal Kedatangan Peralatan Standar Evakuasi

Setelah beberapa hari bertugas dengan keterbatasan, akhirnya peralatan standar evakuasi mulai datang. Kantong mayat, alat pengangkat, sarung tangan tebal, dan masker moncong babi tiba satu per satu. Hadirnya alat-alat ini membawa rasa lega sekaligus harapan baru bagi tim. Proses evakuasi kini bisa dilakukan lebih tertata, aman, dan manusiawi.

Meskipun medan tetap berat, bau kematian tak bisa dihindari, dan cuaca terus berubah-ubah, alat-alat ini membantu mengurangi risiko cedera dan mempercepat pekerjaan. Setiap tubuh yang berhasil kami evakuasi kini dapat ditangani dengan lebih hormat, dan rasa tanggung jawab kami sebagai relawan semakin nyata.

Detik-Detik Evakuasi Pertama dengan Peralatan Standar

Keesokan harinya, tim bersiap untuk evakuasi pertama dengan peralatan lengkap. Lokasi yang dituju adalah rumah yang hancur total, dengan puing berserakan, lumpur tebal, dan aroma kematian yang menyengat. Kami bergerak perlahan, setiap langkah hati-hati, sambil berdoa agar semua berjalan lancar.

Saat menemukan tubuh pertama yang akan dievakuasi, hening seketika. Tubuh itu masih berada di antara reruntuhan kayu dan bata. Dengan alat pengangkat, kami mulai bekerja. Tangan bergetar, napas tercekat di balik masker moncong babi, tapi fokus kami hanya satu: menghormati korban dan menyelesaikan tugas dengan aman.

Ketika tubuh itu akhirnya berhasil ditempatkan di kantong mayat dan diangkat dengan perlahan, rasa lega dan duka bercampur. Ada yang menundukkan kepala, ada yang menitikkan air mata, tapi semua memahami makna momen itu. Setiap evakuasi berikutnya membawa sensasi yang sama: adrenalin, ketegangan, duka, dan doa. Medan berat, reruntuhan rapuh, bau yang tak tertahankan, dan cuaca yang tak bersahabat menjadi saksi bisu perjuangan kami.

Di malam hari, kami berkumpul di tenda dalam keheningan. Tak banyak kata yang terucap, hanya rasa syukur dan doa. Ikatan kami semakin kuat; kami bukan sekadar tim relawan, tapi keluarga yang terikat oleh pengalaman paling berat dalam hidup kami.

Setiap langkah, setiap tubuh yang dievakuasi, dan setiap doa yang terpanjatkan tetap terpatri dalam ingatan. Kisah ini adalah pengingat bahwa di tengah kehancuran, solidaritas, keberanian, dan iman menjadi penopang manusia untuk tetap bertahan.

Bersambung ……………………………

jenazah wanita Aceh bertabur Perhiasan (3)

 

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *